Dunia pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan kegiatan literasi. Semua buku pelajaran dan sumber belajar mengharuskan para peserta didik dan guru membaca. Proses pembelajaran di kelas dan di luar kelas dapat dilaksanakan dengan menitikberatkan pada kegiatan literasi, seperti memahami penjelasan guru dan membahas soal dalam sebuah diskusi. Semua jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi melakukan aktivitas baca-tulis dalam proses pembelajarannya. Tanpa menulis dan membaca, transformasi informasi dan pengetahuan tidak akan berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan membaca dan menulis sangat penting dan harus digalakkan di semua kalangan. Namun, tidak semua orang bersedia dan berkomitmen melaksanakannya dengan serius dan maksimal sehingga program literasi belum mencapai hasil yang diharapkan.
Kita sepakat bahwa saat ini literasi sering dibahas baik di media-media maupun di forum-forum diskusi. Penekanan upaya “meliterasikan bangsa” tidak hanya marak diperbincangkan di dunia sekolah karena sebagian dari masyarakat sudah paham tentang pentingnya berliterasi. Saat ini literasi tidak hanya sekadar sebuah aktivitas membaca atau menulis. Lebih dari itu literasi memiliki cakupan yang lebih luas. Saat ini istilah literasi dapat dilekatkan dengan apa pun. Kita mengenal literasi numerasi, literasi finansial, literasi digital, literasi sains, dan literasi budaya. Bahkan, dengan hingar-bingar suasana politik saat ini, kita mulai mendengar istilah literasi politik. Tampaknya, apapun aktivitas dalam kehidupan selalu dikaitkan dengan literasi. Berliterasi tidak melulu hanya membaca dan menulis cerpen, puisi, artikel, buku, atau novel. Bernyanyi, bermain alat musik, menari, mendesain sebuah produk, membuat film atau pertunjukan, lalu menyaksikannya juga merupakan aktivitas literasi.
Literasi sejatinya adalah keterampilan menggunakan nalar atau daya pikir dalam merespon segala hal dalam kehidupan. Dengan berliterasi kita akan mampu menerima dan menyerap segala informasi dan mencernanya dengan baik, menciptakan gagasan, menuangkan ide, hingga mencipta karya nyata. Gerakan literasi merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang dikenal dengan Gerakan Literasi Sekolah. Pemerintah menyadari bahwa sekolah adalah tempat yang nyaman bagi warga sekolah (guru, siswa, dan tenaga kependidikan) untuk membiasakan sikap dan perilaku positif sebagai cerminan insan Pancasila. Salah satu upaya membumikan perilaku positif tersebut adalah dengan menggalakkan gerakan literasi di sekolah dengan serius. Semua warga sekolah harus berliterasi, baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan. Sejalan dengan ini, UU Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa mencerdaskan bangsa melalui pengembangan budaya baca, tulis, dan hitung bagi segenap warga masyarakat.
Sekolah merupakan wadah paling tepat untuk mengembangkan program literasi karena proses pembelajaran sangat identik dengan kegiatan berliterasi atau kegiatan berbahasa. Pembiasaan berliterasi dapat dilakukan secara aktif dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Aktivitas literasi di kelas Bahasa Indonesia dapat dilaksanakan pada hampir semua Kompetensi Dasar dalam silabus. Misalnya, ketika mencari informasi penting dalam sebuah buku, memenukan gagasan pokok, membaca dan menulis puisi, menulis resensi, mengulas karya sastra dan kompetensi-kompetensi lainnya. Para siswa akan terbiasa mengolah nalarnya dengan membaca sebuah teks, baik itu teks sastra maupun nonsatra dan mendiskusikannya dengan teman sekelasnya. Proses ini akan mengasah kemampuan berpikir dan bernalar siswa. Kegiatan ini dapat melatih kemampuan berbicara siswa, berani berargumentasi dalam menyampaikan gagasannya, berpikiran terbuka dalam menerima perbedaan pendapat, dan mampu berpikiran kritis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, para siswa akan lebih mudah mentransfer ide dan gagasannya ke dalam bentuk tulisan bila kemamapuan membacanya lebih baik.
Gerakan Literasi Sekolah adalah upaya merangkul semua warga sekolah dan masyarakat untuk melakukan kegiatan literasi. Membudayakan gerakan literasi ini dilaksanakan sejalan dengan upaya menumbuhkan karakter dan budi pekerti di sekolah. Mengapa literasi harus digalakkan? Tidak lain adalah agar setiap individu menjadi cakap dan pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Seorang guru harus berliterasi agar dapat menjadi seorang pendidik yang profesional dan disukai oleh peserta didiknya. Kemampuan guru dalam menguasai kelas, mengelola peserta didiknya, dan menguasai bahan ajarnya merupakan kemampuan berliterasi. Siswa yang cerdas tidak hanya menerima materi dari penjelasan gurunya di kelas. Siswa cerdas akan berusaha mencari informasi tambahan yang berkaitan dengan bahan ajarnya di internet atau di buku referensi. Semua itu akan dicerna dengan baik bila siswa tersebut mampu membaca dengan baik.
Guru sebagai tenaga pendidik yang berhadapan langsung dengan siswa merupakan orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap kemampuan peserta didiknya dalam berliterasi. Awalnya, tanggung jawab berliterasi ini dianggap menjadi bagian dari tugas guru Bahasa Indonesia saja karena berliterasi berkaitan dengan kemampuan mengaplikasikan empat keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara. Empat keterampilan berbahasa ini diajarkan di sekolah dasar hingga sekolah lanjutan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, seiring waktu, semua guru mata pelajaran harus melibatkan diri dalam mengimplementasikan kegiatan berliterasi di sekolah dengan cara mengintegrasikannya dalam proses pembelajaran.
Upaya membumikan literasi di sekolah juga dapat diimplementasikan dalam memilih strategi pembelajaran yang tepat yaitu dengan cara memilih model dan media pembelajaran yang relevan dengan tujuan yang diharapkan. Metode diskusi, presentasi, dan bertanya jawab dapat digunakan oleh semua guru mata pelajaran. Dengan menggunakan metode-metode ini, siswa akan terlatih untuk berbicara, menyampaikan ide dan gagasannya dan mampu berargumentasi dalam menyanggah pendapat lawan bicaranya. Kemampuan mendebat dan berargumentasi ini tidak akan mampu dilakukan oleh seorang siswa apabila dia tidak melakukan aktivitas membaca sebelumnya. Penguasaan materi yang didiskusikan akan dapat diperoleh dengan kegiatan membaca. Proses pembelajaran dengan menggunakan metode-metode ini merupakan salah satu contoh mengintegrasikan budaya literasi dalam setiap mata pelajaran. Pembiasan berliterasi dapat diimplementasikan oleh semua guru mata pelajaran karena proses pembelajaran dalam mata pelajaran apa pun memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi yang melibatkan aspek mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara.
Pengembangan profesi guru dan berliterasi seharusnya diberikan kepada semua guru, tidak hanya guru Bahasa Indonesia. Kemampuan membaca berpengaruh terhadap kemampuan, bernalar dan menganalisis informasi. Siswa yang terbiasa membaca akan lebih mudah memahami dan mencerna informasi yang disampaikan gurunya. Kemampuan siswa dalam memahami maksud atau perintah soal akan lebih baik bila siswa tersebut terbiasa membaca. Kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan dapat disebabkan oleh kekurangpahaman siswa dalam mencerna maksud yang diinginkan soal. Hal ini dapat diminimalisasi dengan cara membudayakan kebiasaan membaca. Siswa yang terbiasa membaca, akan dengan mudah menulis dan mengembangkan sebuah gagasan dalam soal uraian yang dihadapkan padanya karena wawasannya akan lebih luas dibandingkan dengan siswa yang kurang membaca.
Dunia digital tidak bisa dibendung lagi saat ini. Keberadaan gadget di kalangan siswa tidak dapat dihindari. Generasi milenial lebih suka menggunakan gadget-nya untuk berselancar di dunia maya dengan memanfaatkan fitur-fitur yang tersedia. Berbagai informasi yang mereka butuhkan dapat dengan mudah mereka dapatkan melalui telepon genggam yang mereka miliki. Di dalam dan di luar kelas, kita akan disuguhkan dengan pemandangan handphone selalu di tangan siswa, selalu dibawa kemana pun pergi. Aktivitas keseharian mereka tidak lepas dari gadget yang menghadirkan segala macam fitur. Sayangnya, keberadaan gadget tersebut sebagian besar hanya berungsi sebagai media hiburan semata. Para siswa lebih senang bermain games, menonton film, dan mendengar musik. Sedikit sekali yang memanfaatkan media digital I I untuk menambah wawasan dan pengetahuan padahal semua informasi dan materi pelajaran ada di dalamnya. Guru harus dapat memanfaatkan kondisi ini dengan menjadikan gadget yang mereka miliki. Dengan kontrol dan pantauan guru, telepon selular tersebut dapat dijadikan media pembelajaran. Misalnya, siswa dapat diajak menulis pantun berantai dalam grup Line atau WA. Mereka akan terlihat asyik karena bisa menulis pantun atau puisi berantai bersama gurunya dalam sebuah grup WA atau Line. Pembelajaran menulis pantun yang sebelumnya membosankan karena sudah pernah diajarkan di SD dan di SMP menjadi lebih variatif dan inovatif sehingga proses pembelajaran menjadi sangat menyenangkan. Bermacam pantun dengan berbagai tema akan tercipta dan diterbitkan ke dalam buku yang ber-ISBN. Selain itu, dengan menggunakan youtube, para siswa bisa menyaksikan film untuk dibahas, atau menonton video klip untuk dijadikan media dalam menulis cerpen. Banyak lagi manfaat gadget bagi siswa yang dapat digunakan sebagai sumber belajar, tentu saja dengan pantauan guru dan orang tua.
Kegiatan berliterasi yang identik dengan membaca dan menulis ini tidak maksimal hasilnya bila hanya dilaksanakan di sekolah. Peran orang tua sangat diperlukan dalam menumbuhkan dan membudayakan aktivitas membaca dan menulis anak-anaknya di rumah. Pembiasaan membaca harus dimulai sejak dini, apalagi saat ini dunia digital sudah tidak dapat lagi dibendung keberadaannya. Orang tua sebagai kamus pertama yang dimiliki oleh seorang anak harus bisa menjadi motor penggerak dalam menciptakan suasana literasi di rumah. Ramah terhadap buku bacaan harus dimulai sejak anak-anak belum masuk ke dunia sekolah. Misalnya, dengan memberi hadiah berupa buku cerita bergambar atau lebih sering mengajaknya ke toko buku di bandingkan ke arena permainan agar dia bisa terbiasa dengan buku hingga dia remaja dan dewasa. Sayangnya, anjuran usang ini tidak begitu populer lagi di zaman melenial ini meskipun masih ada yang peduli dengan pentingnya membudayakan kebiasaan membaca bagi anak-anaknya.
Literasi baca-tulis merupakan literasi awal dalam sejarah peradaban manusia. Kedua literasi ini sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang dianggap memiliki kemampuan literasi bila telah memiliki kemampuan dasar membaca dan menulis. Dengan memiliki kemampuan baca-tulis yang baik, seseorang lebih mampu menjalani hidupnya dengan lebih berkualitas karena kualitas berpikir dan mencerna segala permasalahan kehidupan sangat identik dengan tingkat kemampuan literasi seseorang. Untuk mendapatkan kemampuan literasi (baca-tulis) yang baik harus melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya pendidikan di sekolah, tetapi juga pendidikan di rumah. Guru dan orang tua sangat berperan penting dalam mewujudkan kemampuan berliterasi seorang siswa yang nantinya akan mengantar mereka menjadi manusia cerdas dalam berpikir dan bertindak.
Penulis: Sitti Syathariah (Mas Sitti Sya)
Guru Bahasa Indonesia SMA Cendana Pekanbaru